Dalam lima tahun terakhir ini situasi gizi Indonesia mengalami perbaikan yang cukup menggembirakan. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi balita underweight, stunting, dan overweight mengalami penurunan prevalensi dibandingkan tahun 2013. Meski demikian, Riskesdas 2018 juga mencatat bahwa ada peningkatan defisiensi zat gizi mikro yang muncul dalam manifestasi anemia pada ibu hamil, dari 37,1% pada Tahun 2013 menjadi 48,9% pada Tahun 2018. Selain itu, terlihat pula adanya kenaikan prevalensi overweight dan obesitas pada kelompok usia di atas 18 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah beban gizi ganda.
“Perlu upaya bersama untuk dapat meningkatkan status gizi. Upaya bersama tersebut tidak hanya dari lintas program yang ada di Kementerian Kesehatan tapi juga lintas sektor antar kementerian dan lembaga serta peran swasta dan masyarakat,” kata Menkes dalam sambutannya yang dibacakan oleh Sekretaris Jenderal Kemenkes drg. Oscar Primadi, MPH, saat membuka workshop memperingati Hari Gizi Nasional (HGN) yang ke-59. Tema HGN tahun ini adalah “Membangun Gizi menuju Bangsa Sehat Berprestasi”, sub tema “Keluarga Sadar Gizi, Indonesia Sehat dan Produktif”, dan slogan “Gizi Seimbang, Prestasi Gemilang”.
UU Perlindungan Kesehatan Anak Nomor 23 Tahun 2012 menyatakan bahwa setiap anak di Indonesia memiliki hak untuk hidup dan berkembang secara optimal. Bilamana dikaitkan dengan gizi, maka hak anak tersebut adalah terbebasnya dari masalah gizi, termasuk stunting dan masalah gizi lebih yaitu obesitas.
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang ditandai dengan kegagalan seorang anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal yang disebabkan oleh dampak kekurangan gizi secara kumulatif dan terus menerus, sehingga anak terlalu pendek untuk seusianya. Kekurangan gizi kronis terjadi sejak bayi dalam kandungan dan masa awal setelah anak lahir, stunting baru nampak setelah anak usia 2 tahun.
Pada anak stunting, biasanya diikuti dengan penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Upaya penanggulangan masalah gizi dilakukan melalui perbaikan pola asuh, pola makan, peningkatan akses air bersih dan sanitasi, serta peningkatan aktivitas fisik. Kebijakan kesehatan dan pendidikan gizi perlu fokus pada pencegahan dini daripada pengobatan.
Hingga saat ini, capaian Indeks Keluarga Sehat (IKS) nasional adalah 0,168 yang berarti 16,8% dari keluarga yang telah dikunjungi merupakan keluarga sehat, dimana IKS tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta sebesar 0,339.
Dari hasil IKS yang didapat, setiap daerah harus merencanakan intervensi lanjut berupa inovasi-inovasi program sekaligus menentukan target peningkatan IKS untuk setiap tahun. Bila perlu, IKS dapat dijadikan salah satu indikator dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sehat, Kementerian Kesehatan memberikan panduan kecukupan konsumsi harian yang tertuang pada Permenkes nomor 75 tahun 2013 tentang pentingnya konsumsi Gizi Seimbang. Pemenuhan gizi melalui 4 pesan kunci yaitu Makan beranekaragam, Pola Hidup Bersih dan Sehat, Pola hidup aktif dan berolahraga, serta Pantau berat badan
“Mari kita terapkan pola konsumsi gizi seimbang untuk mencegah terjadinya risiko penyakit katastrofik,” imbau Sekjen.
Dalam penerapannya, Sekjen mengajak semua pihak untuk memperhatikan variasi makanan yang dikonsumsi melalui isi piringku, dimana separuh dari isi piringku adalah sayur dan buah, sedangkan setengahnya lagi adalah makanan pokok dan lauk pauk.
Komentar
Posting Komentar